Jumat, 04 November 2011

dampak pertambangan nikel

Kegiatan penambangan nikel di kampung Warwanai, Waigeo Raja Ampat itu justru membawa bencana bagi masyarakat adat setempat. Beroperasinya PT. Karunia Alam Waigeo (KAW) di kampung ini membawa dampak pada rusaknya ekosistim baik di darat, sungai dan laut. Rusaknya ekosistim di wilayah darat diakibatkan karena dibukanya akses jalan dan wilayah eksploitasi di kawasan Cagar Alam Waigeo Timur untuk dilalui alat-alat berat guna pengangkutan hasil tambang nikel, juga mengakibatkan debu yang tertiup angin yang mengarah ke kampung Warwanai saat musim panas. Sedangkan rusaknya ekosistim di wilayah sungai dan laut diakibatkan oleh terbawanya lumpur dari aktifitas tambang oleh banjir pada saat hujan sehingga merusak dan mencemari sungai dan laut. Akibatnya juga berdampak pada hasil tangkapan ikan para nelayan lokal berkurang serta mengakibatkan anak-anak kecil yang bermain dan mandi dilaut mendapatkan penyakit gatal-gatal.

Loury da Costa, SH, Anggota Tim Legal Advokasi Tambang dari Foker LSM Papua Regio Kepala Burung menerangkan bahwa dari pengakuan masyarakat di kampung Warwanai, tempat ini dulu dipilih sebagai kampung pemukiman karena airnya yang jernih, alamnya yang ramah dan indah. Bahkan mereka tidak keberatan jika pemerintah menetapkan kawasan Waigeo itu sebagai kawasan Cagar Alam, karena justru lingkungan tetap utuh dan lestari. Sumberdaya alam menyediakan segala sesuatu bagi keberlanjutan hidup masyarakat yang hidup di sekitarnya, terutama orang Warwanai. Tidak pernah ada penyakit kulit, karena air selalu bersih alami. Namun, setelah perusahaan tersebut masuk untuk menggaruk isi tanah demi nikel, maka alam yang dulunya adalah sumber berkat bagi masyarakat itu telah berubah menjadi sumber bencana. Tentu ulahnya adalah PT. KAW yang mengejar keuntungan tanpa mempedulikan komunitas manusia yang sudah hidup di kawasan itu sejak puluhan abad yang lalu. Dengan beroperasinya PT. KAW maka yang terancam adalah masyarakat yang memang hidup bergantung pada sumberdaya alam di sekitarnya. Pencemaran ligkungan yang diakibatkan oleh perusahaan ini tidak hanya membahayakan manusia saja, tetapi ekosistem yang ada juga terancam berat. Sumber nafkah masyarakat menjadi tercemar dan mati, akibat limbah industri nikel tersebut.

Loury, Anggota JASOIL Tanah Papua ini pun menjelaskan bahwa kondisi buruk inilah yang mendorong masyarakat adat Kampung Warwanai melakukan aksi protes keras terhadap perusahaan KAW. Masyarakat pernah melakukan aksi protes pada Maret 2008 kepada pihak perusahaan dengan cara melakukan pemalangan di sekitar areal tambang nikel itu. Aksi ini digelar untuk menuntut ganti rugi terhadap hutan dan tanah adat mereka yang sudah dipakai sebagai lahan eksploitasi tambang nikel dan juga dampak kerusakan dan pencemaran yang terjadi di wilayah darat dan laut. Aksi protes ini adalah proses dimana masyarakat menyampaikan aspirasi mereka, baik kepada pihak pemerintah daerah yang sudah memberikan izin kepada perusahaan tanpa memintai persetujuan masyarakat adat setempat. Aksi ini juga dimaksudkan untuk memberikan kejelasan tentang penghargaan dan penghormatan unsur penyelenggara negara terhadap hak-hak dasar masyarakat pemilik hak ulayat atas tanah adat tersebut. Namun, aksi pemalangan sebagai cara memprotes itu justru mendapat tanggapan berupa upaya pembungkaman mulut masyarakat adat dengan pengejaran, penangkapan dan intimidasi dari pihak aparat kepolisian setempat. Sayangnya masyarakat tuan tanah yang kaya akan sumberdaya tambang nikel itu justru ditangkap dan diamankan oleh pihak Kepolsian Sektor Waigeo Utara atas tuduhan bahwa mereka telah menggangu ketertiban umum.

Sayangnya menurut Loury, Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Papua (PBHP) di Sorong ini, proses demokrasi dimana hak dan kebebasan masyarakat tidak dihargai oleh pihak pemerintah, perusahaan dan aparat penegak hukum. Semestinya aspirasi masyarakat itu mendapat perhatian untuk diselesaikan tanpa tekanan dan intimidasi dari pihak mana pun. Pasalnya, dalam menyikapi aksi masyarakat pada saat itu, kepolisian menghalau dan membungkam aspirasi masyarakat adat yang melakukan aksi pemalangan, Kapolsek Waigeo Utara, Ipda. Rofik sempat mengeluarkan tembakan peringatan sehingga membuat masyarakat adat Kampung Warwanai merasa takut dan terancam. Masyarakat yang melakukan aksi berlari berhamburan karena takut terkena peluru. Pada kesempatan itu polisi menangkap 8 orang yang dianggap menjadi dalang aksi pemalangan perusahaan KAW tersebut. Ke-esokan harinya ke-delapan orang masyarakat adat Kampung Warwanai yang dicurigai sebagai penggerak aksi pemalangan oleh pihak keamanan dibawa ke Wisai, Ibukota Kabupaten Raja Ampat untuk bertemu Bupati. Sampai di sana mereka dipertemukan dengan Wakil Bupati Raja Ampat, Drs. Indah Arfan, Sekda Raja Ampat, Drs Abner Kaisepo, Kabag Hukum Raja Ampat, Esau Gaman, SH, Kepala Dinas Pertambangan Raja Ampat, Paulus Tambing), dan Kepala Bapeda Raja Ampat, Rahman Wairoi. Dalam pertemuan itu masyarakat diarahkan supaya tidak melakukan upaya protes dengan cara pemalangan karena mengganggu ketertiban umum dan aktifitas beroperasinya perusahaan tambang serta membawa dampak yang kurang baik dalam proses pembangunan. Argumennya pemerintah selalu menutup kesalahannya dengan memberikan nasehat-nasehat gemilang bagi masyarakat kecil, apalagi masyarakat itu digiring oleh kepolisian. Tanpa keputusan apapun, yang jelas pemerintah tidak menghiraukan tuntutan masyarakat adat, karena pemerintah lebih berpihak pada perusahaan yang bisa mendatangkan income bagi daerah kabupaten yang baru dimekarkan dari Sorong ini. Ketika PAD menuntut, maka tentu investasi besar menjadi pilihan strategis keberpihakan, bukan masyarakat yang hanya menuntut hak melulu tetapi belum tentu membayar pajak.

Masyarakat adat yang melakukan aksi protes itu ternyata pulang tanpa hasil apa pun. Sementara limbah industri tambang nikel itu tetap mengancam kehidupan mereka. Lingkungan alam dimana mereka mencari nafkah itu sudah dirusak. Perusahaan menuai berkah nikelnya dan membawanya pergi, sementara masyarakat adat di kampung Warwanai itu menuai debu dikala panas terik dan lumpur di kala hujan. Ketika masuk dan keluar dari sungai, badan terasa gatal-gatal yang menimbulkan kudis, kurap dan jenis penyakit kulit lainnya. Ketika menebar jala di laut, tangkapan ikan pun berkurang, bahkan nyaris tidak dapat. Bahkan Cagar Alam pun sudah terbuka lebar sehingga satwa pun berpindah tempat dan berlari jauh. Kekesalan pun semakin menyakitkan hati masyarakat, karena hak adatnya tidak dihargai oleh pemerintah dan perusahaan. Sementara, sebelum Cagar Alam itu ditetapkan oleh pemerintah, jauh sebelumnya sejak abad lalu, nenek-moyang orang Warwanai itu telah menjaga lingkungan alam yang kaya akan sumberdaya hayati itu. ”Ya, kami tidak bisa berbuat banyak karena kami hanya orang kecil yang selalu dianggap mengganggu ketertiban umum ketika kami menyampaikan aspirasi kami. Apakah Papua ini Tanah Kosong Tak Bertuan?”***Koordinator JASOIL Tanah Papua dan Wartawan JUBI Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Blog

Katanya Temen Nih

Site Info

Friend Link

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
mendripsikan tentang pertambangan
Lihat profil lengkapku

Reader Community